Minggu, 26 Mei 2019

Novel The Last Wish Indonesia by Andrzej Sapkowski - The Witcher Part 01

The Beginning Of Witcher
The Beginning Of Witcher


I


Belakangan, dikatakan seorang pria datang dari utara, dari Gerbang Ropers. Dia datang berjalan kaki, membimbing kuda muatannya ke Kandang. Hari itu hampir sore dan stan kuda sudah banyak yang tutup, jalanan kosong dan sepi. Hari itu panas, tapi pria tersebut memakai mantel hitam di pundaknya.
Dia berhenti di depan Penginapan Old Narakort, berdiri disana sementara waktu, mendengarkan bising suara yang ada. Seperti biasa, jam tersebut penginapan selalu ramai.
Pria tak dikenal itu tak memasuki Old Narakort. Dia menarik kudanya jauh ke jalanan menuju penginapan yang lain, yang lebih kecil, dikenal dengan nama The Fox. Tak mendapat reputasi yang terbilang bagus, penginapan tersebut hampir kosong.
Pemilik Penginapan yang sedang mengambil mentimun melirik pria tersebut sedari tadi. Si asing, masih dalam mantelnya, berdiri diam di depan meja kedai, tak bergerak tak bersuara.
‘Apa yang kau inginkan?’
‘Bir’ ucap si Asing. Suaranya tidak menyenangkan.
Pemilik Penginapan menyapu tangan dengan celemek kanvas dan mengisi gelas bir yang gempil itu. Si Asing tidaklah tua, tetapi rambutnya hampir putih menyeluruh. Dibalik mantelnya ia mengenakan jerkin kulit yang diikat dari leher ke punggung.
Selagi ia melepas mantelnya, semua orang disekitarnya menyadari kalau ia membawa pedang – bukan sesuatu yang aneh, karena setiap orang di Wyzim sendiri selalu membawanya kemana-mana, tapi tidak ada orang yang membawa pedang, terikat di punggung seperti halnya panah ataupun busur.
Si Asing tidak duduk di meja dengan yang lain. Ia tetap berdiri di kedai, tajam menatap Pemilik Inap, sambil meminum bir sedari tadi.
“Aku ingin kamar untuk satu malam.”
‘Kosong’, ucap si pemilik, melirik-lirik sepatu pelanggan yang busuk nan kotor. ‘Mintalah satu kamar ke Old Narakort’
‘Aku lebih memilih tinggal disini.’
‘Kosong.’ , Pemilik Inap akhirnya mengenali aksen si Asing, Ia adalah orang Rivia.
‘Akan ku bayar.’ Orang luar tadi berbicara pelan sekali, selagi tak yakin, hingga kegaduhan pun dimulai. Pria burik kurus kering yang sedari awal pria luar tersebut masuk, masih belum melepaskan pandangan suramnya, berdiri dan mendekati meja kedai. Kedua rekannya berdiri di belakang, tak lebih dari dua pion saja.
‘Tak ada kamar yang tersisa, dasar kau Gelandangan Rivia!’ ganggu si pria kurus, berdiri tepat disamping si Asing. ‘Kami tak butuh orang sepertimu di Wyzim. Ini kota baik-baik!.’
Si Asing mengambil gelas bir nya dan pergi menjauh. Ia melirik Pemilik Inap yang menghindari matanya selintas. Tak terlintas di fikirnya, untuk membela orang Rivia tersebut. Memangnya, siapa yang suka orang Rivia?.
‘Semua orang Rivia itu pencuri,’ Pria burik mendekat, nafasnya bau Bir, bawang, juga amarah. ‘Apa kau mendengarkanku, bajingan?!’
'Dia tak bisa mendengarkanmu. Telinganya penuh dengan sh*t’, ucap salah seorang diantaranya, dan pria kedua ikut berbicara.
‘Bayar dan keluar!’ teriak si Burik.
Baru sekarang orang Rivia tersebut menoleh mereka.‘Akan kuhabiskan dulu bir ku.’
‘Kami akan membantumu,’ ejek si Burik. Ia menjatuhkan gelas bir dari tangan si Asing, sekaligus meraih pundaknya dari belakang, mengenai pelindung kulit yang secara diagonal melintasi punggung si Asing. Salah satu pria di belakang melontarkan tinju untuk menghantamnya. Si Asing berputar di tempat, menghempaskan pria burik ke lantai. Pedang berdesis dari dalam sarung dan berkilau di gelapnya penginapan.
Tempat tersebut mendadak ramai. Teriakan dimana-mana, dan separuh dari mereka berbondong-bondong keluar. Kursi jatuh dan rusak, tembikar hancur bergema mengenai lantai. Pemilik Inap, bibirnya menggigil melihat muka si Burik yang telah teriris, sedari tadi hanya bisa menggigit jari-jemarinya melewati ujung kedai, perlahan-lahan menghilang dari dalam sana. Kedua pria yang lain terlentang di lantai, satu tak bergerak, yang lain kejang menggeliat dalam gelap, (kencing). Teriakan histeris wanita bergema di udara, menusuk telinga selagi pemilik Inap yang makin gemetar, menarik nafas, dan muntah.
Si Asing mundur menghadap dinding, suasana benar-benar tegang juga siaga. Dia menggenggam pedang dengan kedua tangannya, menyapu pedang ke udara. Tak ada yang bergerak. Teror, layaknya lumpur yang dingin, jelas terlihat dari muka mereka, membuat mereka menganga tak bisa bergerak.
Tiga penjaga menyerbu kedai tersebut, dengan riuh suara gemerincing baju baja. Ketiganya sudah pasti dekat. Melihat ada mayat, mereka menarik pedangnya masing-masing. Orang Rivia itu kembali mundur, dengan lengan kiri ia menarik belati dari kaki sepatunya.
‘Turunkan belatimu!’ teriak salah seorang penjaga dengan suara gemetar. ‘Turunkan belatimu, penjahat! Kau pergi dengan kami!’
Penjaga kedua menendang meja antara ia dengan si Rivia.
‘Tangkap dia, Treska!’ teriaknya ke penjaga ketiga, yang sedari tadi telah berjaga dekat pintu keluar.
‘Tak perlu,’ ucap si Asing, menurunkan pedangnya. ‘Aku akan pergi sendiri.’
‘Kau akan pergi dengan kami, dasar jalang. Ikat dia!’ teriak si penjaga. ‘Turunkan pedangmu atau ku hancurkan kepalamu!.’
Orang Rivia tersebut mulai menegapkan badannya. Dia dengan cepat menyematkan pedang ke tangan kirinya, dan dengan tangan kanan terangkat dihadapan para penjaga, gesit menarik Sign rumit di udara. -----
Para penjaga mundur, menutupi wajah mereka dengan tangan. Salah satu pelanggan tiba-tiba masuk ketika yang lain lari pontang-panting keluar. Wanita tadi kembali berteriak, semakin buas dan memekik telinga.
‘Aku akan pergi sendiri,’ ulang si Asing dengan suaranya yang serak bergema, ‘Dan kalian bertiga akan menuntunku di depan. Bawa aku ke Castellan . Aku tak tau jalan kesana.’
'Baik, Tuan,' omel si penjaga, sembari menurunkan pandangannya. Ia keluar, sementara melihat sekitar. Dua penjaga lain ikut mengikutinya, terpogoh-pogoh. Si Asing mengikuti jejak mereka, menyarungkan pedang dan belatinya. Selagi mereka melintas, sisa-sisa pelanggan menyembunyikan wajah mereka dari orang asing yang berbahaya itu.


EmoticonEmoticon